Mediadoetaindonesia.com
Jakarta,
PP KAMMI menggelar diskusi publik menyikapi RUU Minerba bertajuk, “Polemik RUU Minerba: Kampus Ikut Kelola Tambang?”, pada Selasa (28/1/2025) di Warung Upnormal Tebet, Jakarta Selatan.
Ketua Umum PP KAMMI, Ahmad Jundi Khalifatullah, dalam sambutannya menyampaikan kritik terhadap RUU Minerba yang dinilai tidak memenuhi prinsip meaningful participation. Ia pun secara tegas menolak RUU Minerba yang melibatkan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan pertambangan.
“Dengan diskusi publik ini kita gaungkan resonansinya kepada seluruh kader KAMMI secara nasional. Bahwa PP KAMMI menolak dengan tegas RUU Minerba yang melibatkan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan tambang,” tegasnya.
Menurut Bisman Bakhtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), revisi UU Minerba cacat formil sebab tidak melalui tahap perencanaan sesuai tahapan dalam pembentukan undang-undang. Pembahasan juga dilakukan secara mendadak padahal tidak masuk dalam Prolegnas, minim partisipasi publik hingga prosesnya tidak transparan.
Bisman juga berpendapat bahwa Perguruan Tinggi tidak cocok terlibat dalam pengelolaan tambang, bahkan bertentangan dengan UU Dikti.
“Secara kelembagaaan Perguruan Tinggi terbagi menjadi dua kategori. Pertama Perguruan Tinggi Negeri (PTN), merupakan organ pemerintah baik itu langsung maupun berstatus PTN-BH, tidak mungkin organ pemerintah melakukan usaha (pertambangan) ini. Kedua Perguruan Tinggi Swasta (PTS), bentuknya berupa Yayasan atau Perkumpulan yang sifatnya sama-sama nirlaba tidak untuk mencari keuntungan dan secara kelembagaan, tidak cocok dan tidak sesuai untuk badan usaha,” jelasnya.
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Aryanto Nugroho, menyoroti pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas kepada UMKM. Justru menurutnya, kondisi ini menguntungkan para oligarki, dengan memberikan modal ke sejumlah UMKM atau koperasi. Para oligarki memanfaatkan UMKM, sebab lebih menguntungkan dengan IUP prioritas tak perlu ikut lelang, bahkan memungkinkan banyak mendapatkan insentif keringanan pajak.
Adapun keterlibatan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan tambang, menurut Aryanto, seharusnya Perguruan Tinggi membuat laboratorium riset dengan hak paten teknologi.
“Tugas kampus itu ya bikin laboratorium, menghasilkan hak paten teknologi untuk mendukung industri, itulah core kampus dalam bentuk penelitian. Jadi jika bicara hirilisasi atau transisi energi, silahkan investor datang ke Indonesia tapi untuk teknologinya kita siapkan lewat laboratorium Perguruan Tinggi. Jadi kampus tidak perlu ikut tambang, dia tetap mendapatkan duit selagi industri pertambangan menggunakan paten, itulah kampus yang sehat,” ujarnya.
Juru Kampanye Jaringan Advokat Tambang (JATAM), Alfarhat Kasman, menekankan pentingnya moral of force dalam pengawasan pertambangan, sebab seringkali terjadi pelanggaran HAM dan perampasan ruang hidup masyarakat.
Berdasarkan catatan JATAM, sebagai contoh dampak dari industri nikel di Maluku Utara, ditemukan kasus peningkatan penderita ISPA, di mana pada tahun 2020 penderita 200 orang, memasuki tahun 2023 terjadi lonjakan hingga 1.000 orang. Bahkan temuan JATAM, dari hasil investigasi di wilayah sentra nikel ataupun hirilisasi pertambangan nikel justru yang terjadi peningkatan angka kemiskinan.
Alfarhat mengatakan, RUU Minerba merupakan siasat akrobatik politik pemerintah Prabowo-Gibran untuk mematangkan kekuasaan serta balas budi kepada pendukungnya pada Pemilu 2024.
“Setidaknya di kabinet pemerintah Prabowo-Gibran sebanyak 60 hingga 70% terafiliasi bisnis, bahkan 15% terafiliasi industri ekstraktif. Jadi pemberian konsensi tambang kepada UMKM ini upaya gerombolan kekuasaan balas budi terhadap pendukungnya di Pemilu, semacam pemberian gula-gula kekuasaan kepada pendukung, akrobati politiknya Prabowo,” Ucap Alfarhat Kasman Juru Kampanye JATAM.
Ketua Bidang Kebijakan Publik PP KAMMI, menilai banyak kejanggalan revisi UU Minerba. Bahkan menurutnya keterlibatan Perguruan Tinggi dalam pengelolaan tambang justru menabrak UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
“Proses pembahasan revisi UU Minerba tidak transparan dan minim partisipasi publik. Bahkan RUU ini juga tidak masuk dalam Prolegnas prioritas 2025. Dan jelas bertabrakan dengan UU Dikti, di mana kewajiban Perguruan Tinggi itu menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat,” ujarnya.
Arsandi menambahkan, seharusnya kampus dapat berkontribusi dengan riset pengembangan teknologi serta pengelolaan tambang yang berkelanjutan. Atau Perusahaan Tambang juga dapat bekerjasama dengan kampus dalam pelaksanaan Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM). Dengan keterlibatan kampus, diharapkan tujuan dan manfaat program dapat berdampak terhadap perekonomian dan kesejahteraan bagi warga sekitar tambang.