Mediadoetaindonesia.com
Jakarta,
Pemerintah telah menyatakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai bagian dari reformasi fiskal dengan tujuan memperkuat stabilitas ekonomi. Kebijakan ini banyak mendapatkan kritik dan penolakan dari berbagai kalangan.
Ammar Multazim, Wakil Ketua Umum PP KAMMI, memberikan kritik atas kenaikan PPN 12% yang dinilainya sebagai cara instan pemerintah untuk menambah pendapatan Negara.
“Sebelum menaikkan pajak seharusnya pemerintah juga serius bagaimana cara meningkatkan pendapatan masyarakat. Yang terjadi hari ini rakyat terus diperas dengan pajak, sedangkan manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat mulai dari infrastruktur tidak merata, akses pendidikan dan kesehatan yang sulit, dan lainnya,” katanya.
Ammar meminta, Pemerintah Prabowo-Gibran mendengarkan masukan dari berbagai kalangan terhadap potensi yang dapat ditimbulkan dari kenaikan PPN 12%. Menurutnya kenaikan tersebut akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Padahal pemerintah memiliki target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 8%.
“Kenaikan PPN 12% akan berdampak terhadap daya beli masyarakat dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi. Padahal pemerintah telah membuat target hingga 8%. Dengan kenaikan tersebut hanya akan menambah beban hidup rakyat,” ujar Ammar.
Arsandi, sebagai ketua bidang kebijakan publik PP KAMMI, menyoroti kenaikan PPN 12% yang menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan ASEAN, sejajar dengan Filipina. Padahal menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia belum stabil, bahkan upah tergolong rendah dibandingkan dengan Negara tetangga Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan penerapan PPN 12% ini akan dikenakan pada barang dan jasa dalam kategori mewah. Namun, Arsandi menilai batasan kategori barang mewah tidaklah jelas.
“Kategori barang mewah apa saja yang dimaksud tidaklah jelas. Jika memang targetnya kategori barang mewah seharusnya memaksimalkan penerimaan dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM),” ucapnya.
Arsandi menambahkan, dampak kenaikan PPN 12% juga memperburuk keadaan kelas ekonomi menengah dan pelaku usaha kecil. Padahal kelas menengah berkontribusi banyak terhadap tingkat konsumsi rumah tangga yang merupakan penyumbang terbesar terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta pada tahun 2024.
“Dengan kenaikan tarif PPN 12%, akan memperburuk kondisi perekonomian kelas menengah. Sulit bagi mereka untuk naik kelas atau bahkan bisa bergeser kepada kelompok rentan miskin. Terlebih bantuan yang disiapkan pemerintah seringkali tidak menyasar kelompok kelas menengah,” pungkasnya.